Rapid Rise of Green Buildings |
Isu
dan konteks yang merujuk pada desain hijau dan keberlanjutan sudah menjadi
wacana di lingkungan arsitektur Indonesia sejak lebih dari tiga dekade yang lalu.
Dunia profesional, lembaga nirlaba, hingga materi perkuliahan di berbagai institusi
pendidikan pun santer mengusung tema ini. Begitu pula dengan pasar material
bangunan yang berlomba-lomba menawarkan produk dengan label hijau guna mendukung
pelaku perancang dan perencana properti menuju visi bersama.
Eksistensi desain
hijau telah dituntut untuk bukan lagi menjadi konsep khusus semata, melainkan
menjelma menjadi suatu keharusan apa ada nya dari sebuah perancangan.
Hal
ini tak lepas dari pengaruh gerakan-gerakan dunia yang terpicu oleh kondisi
paska Perang Dunia 2, di mana bangunan-bangunan pengonsumsi sumber daya alam menjamur
di kota-kota besar. Elemen pengondisian udara, baik itu pendingin mau pun
penghangat ruang, marak menempel di setiap gedung. Saat itu energi memang
terbilang sangat murah dibandingkan dengan insulasi ramah lingkungan, proses
manufaktur material bangunan pun dengan mudah dilakukan oleh industri bahan
kimia tanpa memikirkan efek jangka panjang dari produk mereka. Kondisi ini
banyak menuai kritik di tahun 1960-an yang kemudian memunculkan apa yang kini
dikenal sebagai gerakan low-tech
architecture. Segala sesuatu nya kembali kepada kearifan lokal; material,
teknis konstruksi, hingga bentuk gubahan massa ruang guna menurunkan konsumsi
energi. Selain itu, krisis minyak yang terjadi di era 70-an ikut serta
mendorong gerakan hemat energi di seluruh dunia. Disiplin ilmu rancang bangun
semakin membaik di era dasawarsa berikutnya. Paham Green Thinking merebak populer hingga kebijakan politik. Pada masa
ini lah insulasi ramah lingkungan dan solar
collector diproduksi secara massal.
Tren
desain hijau dan keberlanjutan di Indonesia sendiri membawa angin segar dalam
teknis mau pun seni perancangan arsitektur lokal. Nilai budaya tradisional
terangkat derajat nya hingga bergaung ke mancanegara. Sebut saja Kampung Improvement Programme yang
memvisikan perbaikan kampung-kampung kota di Jakarta pada tahun 1969, Kali Code
urban settlement oleh Y. B.
Mangunwijaya di tahun 1985, dan proyek preservasi Mbaru Niang di Wae Rebo, yang
diinisiasikan oleh arsitek muda Yori Antar, memenangkan Aga Khan Award for
Architecture 2013. Tak hanya itu, proyek dengan skala hunian tunggal pun
semakin marak bersemangat mengaplikasikan material-material lokal yang ternyata
mampu meningkatkan pendapatan pengrajin setempat.
Keseriusan
Indonesia untuk menjalankan sustainable
design ini dikukuhkan dengan berdiri nya sebuah lembaga nirlaba bernama Green
Building Council Indonesia (GBCI) di tahun 2009. GBCI sendiri merupakan anggota dari World Green Building, yang berpusat di
Kanada. Beberapa gedung ternama di ibukota sudah mendapatkan sertifikasi
hijau dari lembaga tersebut, sebut saja Gedung Menteri Pekerjaan Umum dan
Gedung Sampoerna Strategic. Label hijau yang dikeluarkan oleh GBCI ini disambut
baik oleh pelaku properti nasional, hal ini terlihat dari banyaknya
gedung-gedung yang antre dalam daftar tunggu sertifikasi.
Peran
serta pemerintah pun tampak semakin giat mendukung upaya ini. Meski belum ada
peraturan dengan skala nasional, rupa nya penetapan regulasi hijau telah
berkembang di tingkatan pemerintah daerah. Dimulai dengan DKI Jakarta yang
telah memberlakukan Perda Nomor 7 tahun 2010, disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan green building adalah bangunan gedung yang
bertanggung jawab terhadap lingkungan dan sumber daya yang efisien dari sejak
perencanaan, pelaksanaan konstruksi, pemanfaatan, pemeliharaan, sampai
dekonstruksi. Kemudian disambung dengan Pergub 38 tahun 2012, di mana pengaturan green
building dibuat lebih spesifik. Salah satu ayat nya menyebutkan bahwa “penyelenggaraan bangunan gedung meliputi
bangunan gedung baru dan bangunan gedung eksisting”. Gedung eksisting yang
dimaksud adalah bangunan gedung yang pada saat Pergub 38/2012 ini ditetapkan
sedang dalam tahap pelaksanaan konstruksi dan atau sudah dalam tahap
pemanfaatan. Beberapa hal juga dibahas sebagai tolak ukur dalam penentuan hijau
tidaknya sebuah bangunan. Untuk kriteria gedung baru, efisiensi energi dan air
menjadi syarat mendapatkan poin penuh. Begitu pula dengan kualitas udara dalam
lingkungan, cara pengelolaan lahan dan limbah, serta pelaksanaan kegiatan
konstruksi. Sedangkan bagi gedung eksiting, isu konservasi lebih dititik
beratkan bagi efisiensi energi dan air. Perihal manajemen operasional dan
pemeliharaan pun turut menjadi bahan pertimbangan. Hal-hal tersebut ini lah
yang kemudian dibakukan menjadi syarat teknis bangunan di kawasan DKI Jakarta.
Di tahun 2015, Pemerintah Kota Bandung pun mulai mencanangkan regulasi hukum
bangunan yang menyaratkan sertifikasi hijau sebagai modal utama untuk maju
mendapatkan IMB.
Dalam
perjalanannya, label green building
pada sebuah bangunan terbukti mampu meningkatkan nilai ekonomis tidak hanya
dalam hal konservasi energi. Hotel, resort, atau pun kantor sewa dengan tarif
melambung yang bersertifikat hijau akan dengan mudah diterima oleh pasar. Hal
ini baik untuk merangsang kesadaran investasi jangka panjang dari sebuah konsep
hijau. Namun di lain sisi tetap saja keberadaan pihak tak bertanggung jawab
yang memanfaatkan momentum “marketing hijau” ini harus dipertanyakan. Merebak
nya sertifikasi dan penghargaan dalam green
and sustainable building ini sangat menggiurkan bagi pihak mana pun yang
memandang hal ini sebagai alat pemasaran modern.
Terlalu
mudah nya mendapatkan sertifikat green
building di Amerika Serikat menimbulkan banyak protes. Dalam kurun waktu
dua belas tahun semenjak tahun 2000, sudah ada lebih dari 15000 bangunan yang
mendapatkan sertifikat green building
berdasarkan Leadership
in Energy and Environmental Design
(LEED), sebuah program sertifikasi green building yang dikeluarkan oleh
U.S. Green Building Council. Salah satu skandal sertifikasi green
building oleh LEED yang paling banyak menuai kritik adalah The Palazzo Hotel and Casino (PHC) di Las Vegas. Kompleks bangunan
mewah yang terbangun pada tahun 2008 ini terdiri dari 50 lantai, memiliki
banyak feature canggih seperti indoor
waterfall, smoke-filled gaming area, tujuh air
mancur dekoratif, dan guest suites
dengan tiga televisi dan power-controlled
curtains di masing-masing kamar. Dengan tapak bangunan ultra besar untuk
zaman itu, PHC malah dianobatkan sebagai bangunan ramah lingkungan di saat
peresmian nya. Penunjukan
ini menganugerahkan pemiliknya, Las Vegas Sands Corp, keringanan pajak senilai US$
27.000.000 selama 10 tahun berdasarkan hukum di negara bagian Nevada. Banyak
pihak yang berkecimpung dalam preservasi energi dan sustainable design menyayangkan keputusan ini, sempat dimuat di beberapa
media massa Amerika seperti USA Today dan The New York Times. Meskipun terdapat
pemenuhan untuk beberapa kategori hijau di bangunan tersebut, seperti ada nya rak
sepeda di garasi, informasi penggantian handuk pada room cards, dan desain lansekap yang sesuai dengan peraturan hukum
setempat di mana penggunaan rumput dilarang, usaha PHC dinilai terlalu kecil
jika dibandingkan dengan konsumsi energi dalam operasional bangunan tersebut.
Pemberian sertifikat hijau kepada PHC mendorong perlu nya revisi besar-besaran
terhadap LEED agar penilaian green building tidak hanya sekedar common practice. Sontak LEED pun dicap
sebagai langkah murah meriah untuk membantu pemilik properti mendapatkan
keringanan pajak dan kemudahan ijin bangun. Kasus marketing hijau lainnya
terkuak ketika Federal Trade Commision (FTC), sebuah lembaga independen
perlindungan konsumen Amerika, mengeluarkan informasi bahwa salah satu lembaga
sertifikasi green building bernama
Tested Green terbukti sebagai lembaga palsu di tahun 2011.
Bisnis
berbasis marketing hijau memang cukup sulit untuk dinilai secara praktis namun
mudah menjadi lahan gembur, terutama bagi pasar properti yang sedang tumbuh
seperti Indonesia. Peran pengawasan yang independen dan
berintegritas diharapkan mampu menghilangkan kekhawatiran serupa. Semua
kepentingan pada sebuah visi desain hijau pada akhir nya harus lah bermanfaat
untuk kelestarian lingkungan hidup.
Cita-cita
untuk mewujudkan lingkungan hidup terencana yang berkelanjutan adalah sebuah
pekerjaan besar. Butuh banyak pihak dengan pengetahuan dan kesadaran untuk
berkolaborasi di dalamnya. Efisiensi energi dengan bantuan insulasi ramah
lingkungan harus nya sudah tak dipahami sebagai investasi jangka panjang belaka,
melainkan sebuah sistem yang dipahami dapat membantu menghemat konsumsi energi
terbatas. Transformasi pasar properti pun dengan marketing hijau di dalam nya
harus dapat diikuti dengan perlindungan konsumen yang mumpuni sehingga
keberadaan badan sertifikasi green
building dapat membantu meningkatkan daya saing properti Indonesia dengan
penuh integritas. Bagaimanapun optimisme menunjukkan bahwa properti Indonesia kini
sedang dalam gradasi warna nya menuju hijau.
*ditulis pada tanggal 23 September 2015
No comments:
Post a Comment