Tuesday, December 29, 2015

Greenship Movement in Indonesia Property

Rapid Rise of Green Buildings
Isu dan konteks yang merujuk pada desain hijau dan keberlanjutan sudah menjadi wacana di lingkungan arsitektur Indonesia sejak lebih dari tiga dekade yang lalu. Dunia profesional, lembaga nirlaba, hingga materi perkuliahan di berbagai institusi pendidikan pun santer mengusung tema ini. Begitu pula dengan pasar material bangunan yang berlomba-lomba menawarkan produk dengan label hijau guna mendukung pelaku perancang dan perencana properti menuju visi bersama. 

Eksistensi desain hijau telah dituntut untuk bukan lagi menjadi konsep khusus semata, melainkan menjelma menjadi suatu keharusan apa ada nya dari sebuah perancangan.
Hal ini tak lepas dari pengaruh gerakan-gerakan dunia yang terpicu oleh kondisi paska Perang Dunia 2, di mana bangunan-bangunan pengonsumsi sumber daya alam menjamur di kota-kota besar. Elemen pengondisian udara, baik itu pendingin mau pun penghangat ruang, marak menempel di setiap gedung. Saat itu energi memang terbilang sangat murah dibandingkan dengan insulasi ramah lingkungan, proses manufaktur material bangunan pun dengan mudah dilakukan oleh industri bahan kimia tanpa memikirkan efek jangka panjang dari produk mereka. Kondisi ini banyak menuai kritik di tahun 1960-an yang kemudian memunculkan apa yang kini dikenal sebagai gerakan low-tech architecture. Segala sesuatu nya kembali kepada kearifan lokal; material, teknis konstruksi, hingga bentuk gubahan massa ruang guna menurunkan konsumsi energi. Selain itu, krisis minyak yang terjadi di era 70-an ikut serta mendorong gerakan hemat energi di seluruh dunia. Disiplin ilmu rancang bangun semakin membaik di era dasawarsa berikutnya. Paham Green Thinking merebak populer hingga kebijakan politik. Pada masa ini lah insulasi ramah lingkungan dan solar collector diproduksi secara massal.

Tren desain hijau dan keberlanjutan di Indonesia sendiri membawa angin segar dalam teknis mau pun seni perancangan arsitektur lokal. Nilai budaya tradisional terangkat derajat nya hingga bergaung ke mancanegara. Sebut saja Kampung Improvement Programme yang memvisikan perbaikan kampung-kampung kota di Jakarta pada tahun 1969, Kali Code urban settlement oleh Y. B. Mangunwijaya di tahun 1985, dan proyek preservasi Mbaru Niang di Wae Rebo, yang diinisiasikan oleh arsitek muda Yori Antar, memenangkan Aga Khan Award for Architecture 2013. Tak hanya itu, proyek dengan skala hunian tunggal pun semakin marak bersemangat mengaplikasikan material-material lokal yang ternyata mampu meningkatkan pendapatan pengrajin setempat.

Keseriusan Indonesia untuk menjalankan sustainable design ini dikukuhkan dengan berdiri nya sebuah lembaga nirlaba bernama Green Building Council Indonesia (GBCI) di tahun 2009. GBCI sendiri merupakan anggota dari World Green Building, yang berpusat di Kanada. Beberapa gedung ternama di ibukota sudah mendapatkan sertifikasi hijau dari lembaga tersebut, sebut saja Gedung Menteri Pekerjaan Umum dan Gedung Sampoerna Strategic. Label hijau yang dikeluarkan oleh GBCI ini disambut baik oleh pelaku properti nasional, hal ini terlihat dari banyaknya gedung-gedung yang antre dalam daftar tunggu sertifikasi.

Peran serta pemerintah pun tampak semakin giat mendukung upaya ini. Meski belum ada peraturan dengan skala nasional, rupa nya penetapan regulasi hijau telah berkembang di tingkatan pemerintah daerah. Dimulai dengan DKI Jakarta yang telah memberlakukan Perda Nomor 7 tahun 2010, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan green building adalah bangunan gedung yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan sumber daya yang efisien dari sejak perencanaan, pelaksanaan konstruksi, pemanfaatan, pemeliharaan, sampai dekonstruksi. Kemudian disambung dengan Pergub 38 tahun 2012, di mana pengaturan green building dibuat lebih spesifik. Salah satu ayat nya menyebutkan bahwa “penyelenggaraan bangunan gedung meliputi bangunan gedung baru dan bangunan gedung eksisting”. Gedung eksisting yang dimaksud adalah bangunan gedung yang pada saat Pergub 38/2012 ini ditetapkan sedang dalam tahap pelaksanaan konstruksi dan atau sudah dalam tahap pemanfaatan. Beberapa hal juga dibahas sebagai tolak ukur dalam penentuan hijau tidaknya sebuah bangunan. Untuk kriteria gedung baru, efisiensi energi dan air menjadi syarat mendapatkan poin penuh. Begitu pula dengan kualitas udara dalam lingkungan, cara pengelolaan lahan dan limbah, serta pelaksanaan kegiatan konstruksi. Sedangkan bagi gedung eksiting, isu konservasi lebih dititik beratkan bagi efisiensi energi dan air. Perihal manajemen operasional dan pemeliharaan pun turut menjadi bahan pertimbangan. Hal-hal tersebut ini lah yang kemudian dibakukan menjadi syarat teknis bangunan di kawasan DKI Jakarta. Di tahun 2015, Pemerintah Kota Bandung pun mulai mencanangkan regulasi hukum bangunan yang menyaratkan sertifikasi hijau sebagai modal utama untuk maju mendapatkan IMB.

Dalam perjalanannya, label green building pada sebuah bangunan terbukti mampu meningkatkan nilai ekonomis tidak hanya dalam hal konservasi energi. Hotel, resort, atau pun kantor sewa dengan tarif melambung yang bersertifikat hijau akan dengan mudah diterima oleh pasar. Hal ini baik untuk merangsang kesadaran investasi jangka panjang dari sebuah konsep hijau. Namun di lain sisi tetap saja keberadaan pihak tak bertanggung jawab yang memanfaatkan momentum “marketing hijau” ini harus dipertanyakan. Merebak nya sertifikasi dan penghargaan dalam green and sustainable building ini sangat menggiurkan bagi pihak mana pun yang memandang hal ini sebagai alat pemasaran modern.

Terlalu mudah nya mendapatkan sertifikat green building di Amerika Serikat menimbulkan banyak protes. Dalam kurun waktu dua belas tahun semenjak tahun 2000, sudah ada lebih dari 15000 bangunan yang mendapatkan sertifikat green building berdasarkan Leadership in Energy and Environmental Design (LEED), sebuah program sertifikasi green building yang dikeluarkan oleh U.S. Green Building Council. Salah satu skandal sertifikasi green building oleh LEED yang paling banyak menuai kritik adalah The Palazzo Hotel and Casino (PHC) di Las Vegas. Kompleks bangunan mewah yang terbangun pada tahun 2008 ini terdiri dari 50 lantai, memiliki banyak feature canggih seperti indoor waterfall, smoke-filled gaming area, tujuh air mancur dekoratif, dan guest suites dengan tiga televisi dan power-controlled curtains di masing-masing kamar. Dengan tapak bangunan ultra besar untuk zaman itu, PHC malah dianobatkan sebagai bangunan ramah lingkungan di saat peresmian nya. Penunjukan ini menganugerahkan pemiliknya, Las Vegas Sands Corp, keringanan pajak senilai US$ 27.000.000 selama 10 tahun berdasarkan hukum di negara bagian Nevada. Banyak pihak yang berkecimpung dalam preservasi energi dan sustainable design menyayangkan keputusan ini, sempat dimuat di beberapa media massa Amerika seperti USA Today dan The New York Times. Meskipun terdapat pemenuhan untuk beberapa kategori hijau di bangunan tersebut, seperti ada nya rak sepeda di garasi, informasi penggantian handuk pada room cards, dan desain lansekap yang sesuai dengan peraturan hukum setempat di mana penggunaan rumput dilarang, usaha PHC dinilai terlalu kecil jika dibandingkan dengan konsumsi energi dalam operasional bangunan tersebut. Pemberian sertifikat hijau kepada PHC mendorong perlu nya revisi besar-besaran terhadap LEED agar penilaian green building tidak hanya sekedar common practice. Sontak LEED pun dicap sebagai langkah murah meriah untuk membantu pemilik properti mendapatkan keringanan pajak dan kemudahan ijin bangun. Kasus marketing hijau lainnya terkuak ketika Federal Trade Commision (FTC), sebuah lembaga independen perlindungan konsumen Amerika, mengeluarkan informasi bahwa salah satu lembaga sertifikasi green building bernama Tested Green terbukti sebagai lembaga palsu di tahun 2011.

Bisnis berbasis marketing hijau memang cukup sulit untuk dinilai secara praktis namun mudah menjadi lahan gembur, terutama bagi pasar properti yang sedang tumbuh seperti Indonesia. Peran pengawasan yang independen dan berintegritas diharapkan mampu menghilangkan kekhawatiran serupa. Semua kepentingan pada sebuah visi desain hijau pada akhir nya harus lah bermanfaat untuk kelestarian lingkungan hidup.

Cita-cita untuk mewujudkan lingkungan hidup terencana yang berkelanjutan adalah sebuah pekerjaan besar. Butuh banyak pihak dengan pengetahuan dan kesadaran untuk berkolaborasi di dalamnya. Efisiensi energi dengan bantuan insulasi ramah lingkungan harus nya sudah tak dipahami sebagai investasi jangka panjang belaka, melainkan sebuah sistem yang dipahami dapat membantu menghemat konsumsi energi terbatas. Transformasi pasar properti pun dengan marketing hijau di dalam nya harus dapat diikuti dengan perlindungan konsumen yang mumpuni sehingga keberadaan badan sertifikasi green building dapat membantu meningkatkan daya saing properti Indonesia dengan penuh integritas. Bagaimanapun optimisme menunjukkan bahwa properti Indonesia kini sedang dalam gradasi warna nya menuju hijau.

*ditulis pada tanggal 23 September 2015

No comments:

Post a Comment