Thursday, December 31, 2015

Travelling to Japan with Baby for Dummies - Part 1

Pada akhir tahun 2014, saya dan suami memutuskan untuk travelling ke Jepang yang direncenakan akan berangkat di awal musim semi tahun depannya, which is pada Maret 2015. Keputusan travelling ke luar negeri kai ini sedikit lebih membutuhkan banyak pertimbangan dibanding jalan-jalan biasanya karena (yessss..) kami sudah punya anak, masih bayi pula. Mengajak Jagad, anak kami, yang masih berusia 13 bulan saat itu ke dalam sebuah perjalanan yang memakan waktu kurang lebih 7 jam di udara dan akan menghadapi perubahan cuaca dari tropis ke negera empat musim sungguh mempengaruhi semua konten dalam itinerary, packing list, mau pun kriteria hotel. Kami memutuskan tiga kota populer, Tokyo-Kyoto-Osaka, sebagai tujuan petualangan kami. Untuk detail itinerary-nya dapat dilihat di sini.

Packing list jelas penuh dengan baju hangat, mengingat pertengahan Maret masih merupakan peralihan dari musim dingin ke musim semi. Temperatur masih di sekitaran 5° - 11° C. Perlengkapan milik Jagad pun mendominasi 50% dari total barang bawaan kami. Sebut saja stroller, baby carrier, perlengkapan makan, popok sekali pakai (dari banyak blog yang saya baca, semua menyebutkan popok sekali pakai atau pospak sangat sulit dan mahal untuk ditemukan di Jepang. Harus ke toko khusus perlengkapan bayi atau apotek tertentu).

Safe and Sound with Happy Baby
Akhirnya waktu yang ditunggu pun datang. Kami sengaja memilih penerbangan malam agar Jagad bisa tertidur panjang tanpa merasakan bosan selama di pesawat. Dan benar saja, he slept all over the flight.. *happy ibu* Penerbangan kami terbilang lancar, hanya ada sedikit kendala ketika pesawat kami sedikit terlambat saat harus transit di Kuala Lumpur yang mengakibatkan bagasi kami tidak bisa terangkut saat itu juga bersama si empunya. Termasuklah Jagad’s holy stroller.. DEG!

Sesampai di Kansai Airport, kami langsung mengunakan kereta Osaka Express menuju Shin Osaka agar bisa langsung melaju ke Tokyo dengan shinkansen. Namun sebelumnya, kami telah lebih dulu menukarkan kupon JR Pass di kantor cabang perusahaan transportasi tersebut yang ada di area bandara

Kansai Airport and JR Office
Menikmati perjalanan Osaka – Tokyo by shinkansen sungguh sesuai dengan harapan. Interior modern yang bersih dan [relatif] mewah, toilet dengan berbagai tombol super canggih khas negara sakura, dress room terpisah (kyaaaa!!), kursi-kursi yang ergonomis, dan tidak lupa menyebutkan faktor ketepatan waktu berangkat dan sampai. Luar biasa. Bento yang kami beli di Stasiun Shin Osaka pun terasa berlipat-lipat enaknya. Selain itu, kami juga dapat menikmati Fujiyama dari jendela tempat duduk kami. Cobalah untuk meminta petugas, ketika Anda menukarkan JR Pass, untuk menempatkan tempat duduk kereta Anda di sisi Gunung Fuji. Mereka akan dengan senang hati membantu jika memang seat tersebut masih tersedia.

Fujiyama in Our Window
Dua jam yang tidak berasa itu pun mengantarkan kami pada tujuan pertama yang mendebarkan, TOKYOOOOOOO! Kota ultrapolitan yang tetap menjunjung tinggi budayanya.. Walaupun belum mandi dan sibuk mengurusi kebutuhan anak, wajah segar dan bahagia kami tidak bisa dikalahkan oleh temperatur udara di Stasiun Tokyo yang saat itu menunjukkan angka 5°C saja pakbapak-buibu.. Kami pun langsung menuju ke penginapan yang berlokasi tak jauh dari Stasiun Kanda.

Left: Arrived in Tokyo with Shinkansen | Right: Kanda Neighborhood

TOKYO

Walaupun telah menyusun itinerary sedemikian rupa, travelling dengan mengajak si anak bayi sungguhlah bukan sesuatu yang bisa membantu kita untuk disiplin terhadap jadwal kunjung lokasi wisata. Improvisasi adalah kunciiiiih! Ingat kaaan sebelumnya saya sudah cerita tentang bagasi kami yang tertunda? Di situ lah improvisasi ini dibutuhkan. Semua baju hangat kami ada di koper! Dengan pakaian seadanya di waktu arrival benar-benar tidak sanggup membuat saya bertahan menghadapi temperatur udara yang rata-rata masih di sekitaran satu digit itu. Baju ganti Jagad pun hanya ada dua pasang yang jelas tidak mungkin bisa memenuhi kebutuhannya selama di Tokyo (Fyi, bagasi kami yang-tertunda-itu dikirimkan ke Kyoto, yang mana hanya bisa kami gunakan apapun di dalamnya hanya pada saat kami sudah tiba di empat hari kemudian. Termasuklah stroller Jagad. Untuk masalah terakhir yang disebutkan itu kami tertolong karena membawa baby carrier saat penerbangan). Jadilah tujuan hari pertama kami: SHOPPING! Belanja sandang musim dingin di sekitaran Stasiun Okachimachi.

Akihabara
Hari berikutnya kami menuju distrik terbesar di Tokyo, Akihabara. None both of us was an otaku, tapi ambiance yang kami rasakan di sana benar-benar membuat kami merasa jadi bagian dari mereka hehe. Alur sirkulasi di distrik canggih ini memang memudahkan pengunjung untuk mencapai tempat-tempat populer khas Generation X Akihabara. Sebut saja UDX Building, AKB48 Cafe, Gundam Cafe, dan Yodobashi Akiba, semua nya langsung terlihat begitu kami keluar dari pintu stasiun. Di sini tak hanya penggemar anime dan manga yang merasa berada di surga, penggila gadget dan elektronik pun dijamin bisa kalap hingga lupa diri dibuatnya. Khusus untuk elektronik dan gadget, superstore Yodobashi Akiba memang menawarkan harga yang relatif lebih murah dibandingkan tempat lainnya. Sebagai contoh, kami membeli boneka robot sederhana untuk Jagad di sana dan di hari kemudian menemukan boneka serupa namun dengan harga lebih mahal di Kiddy Land. Senangnyaaa... Oh iya, mengenai UDX Building yang merupakan pusat anime internasional itu, saya pribadi mendapatkan kesan yang mendalam. Kecanggihan desain bangunan ternyata berbanding lurusdengan fasilitasnya. Everything was well designed, even for handicap, preggie, elder, and kids! Saya sempat menumpang untuk mengganti popok anak di salah satu toiletnya. Dan berakhir ingin tidur siang di sana karena terdapat tempat duduk dengan penghangat. Kimochi..

Dari Akihabara kami menuju Kinshicho area. Tujuan utama kami sebenarnya adalah area di sekitaran Sumida, di mana rencana sore dan malam ini adalah mampir ke Asakusa Jinja dan Tokyo Skytree. Namun lagi-lagi karena masalah bagasi-yang-tertunda-itu, mampir belanja pakaian untuk Jagad adalah sebuah kewajiban. Kalau di Indonesia kita bisa membeli pospak dan makanan bayi dengan mudahnya di mini market atau warung tradisional, tidak demikian di Jepang. Benda-benda tersebut hanya dapat ditemukan di toko-toko khusus perlengkapan bayi seperti Akachan Honpo, Babies r Us/ Toys r Us/ Kids r Us, atau beberapa apotek yang berlisensi. Kinshicho adalah area terdekat dan berada di jalur itinerary kami yang dapat kami hampiri karena di sana lah terdapat salah satu toko bayi terbesar di Tokyo bernama Akachan Honpo.

Tokyo Skytree
Berbelanja di Akachan Honpo ternyata cukup menyita waktu. Bagaimana tidak, barang-barang keperluan bayi dengan kualitas dan design bagus dengan brand terkenal macam Aprica, Pigeon, Kewpie, dan Wakado harganya jauuuuuuh lebih murah dibandingkan dengan di negara asal kita. Akibatnya kami pun baru keluar dari toko tersebut pada malam hari. Molor lagi dari jadwal. Tujuan ke Asakusa Jinja jelas dicoret, Dalam perjalanan menuju Tokyo Skytree, kami melihat siluet menara tertinggi itu dari jauh. Menjulang tinggi dengan pencahayaan yang samar. Masuk ke dalamnya ternyata kami disambut semacam pusat pebelanjaan yang banyak menjual oleh-oleh setempat. Karena waktu yang kami miliki terbatas, acara melihat-lihat pusat perbelanjaan yang bernama Tokyo Solomachi itu pun harus dilupakan. Bergegas menuju ke atas dan dihadapkan dengan pemandangan Tokyo skyline. Sesaat saya merasa menjadi Sailor Moon yang mengawasi Tokyo dari Tokyo Tower tapi tersadarkan kembali karena beban berat gendongan si bocah di punggung ini.

Demikian lah hari pertama di Tokyo kami lalui. Salah satu kota impian untuk menetap nantinya. Cerita selanjutnya di Travelling to Japan with Baby for Dummies - Part 2 dan 3 akan segera diunggah dalam beberapa hari mendatang. Happy new year!


Tuesday, December 29, 2015

Greenship Movement in Indonesia Property

Rapid Rise of Green Buildings
Isu dan konteks yang merujuk pada desain hijau dan keberlanjutan sudah menjadi wacana di lingkungan arsitektur Indonesia sejak lebih dari tiga dekade yang lalu. Dunia profesional, lembaga nirlaba, hingga materi perkuliahan di berbagai institusi pendidikan pun santer mengusung tema ini. Begitu pula dengan pasar material bangunan yang berlomba-lomba menawarkan produk dengan label hijau guna mendukung pelaku perancang dan perencana properti menuju visi bersama. 

Eksistensi desain hijau telah dituntut untuk bukan lagi menjadi konsep khusus semata, melainkan menjelma menjadi suatu keharusan apa ada nya dari sebuah perancangan.
Hal ini tak lepas dari pengaruh gerakan-gerakan dunia yang terpicu oleh kondisi paska Perang Dunia 2, di mana bangunan-bangunan pengonsumsi sumber daya alam menjamur di kota-kota besar. Elemen pengondisian udara, baik itu pendingin mau pun penghangat ruang, marak menempel di setiap gedung. Saat itu energi memang terbilang sangat murah dibandingkan dengan insulasi ramah lingkungan, proses manufaktur material bangunan pun dengan mudah dilakukan oleh industri bahan kimia tanpa memikirkan efek jangka panjang dari produk mereka. Kondisi ini banyak menuai kritik di tahun 1960-an yang kemudian memunculkan apa yang kini dikenal sebagai gerakan low-tech architecture. Segala sesuatu nya kembali kepada kearifan lokal; material, teknis konstruksi, hingga bentuk gubahan massa ruang guna menurunkan konsumsi energi. Selain itu, krisis minyak yang terjadi di era 70-an ikut serta mendorong gerakan hemat energi di seluruh dunia. Disiplin ilmu rancang bangun semakin membaik di era dasawarsa berikutnya. Paham Green Thinking merebak populer hingga kebijakan politik. Pada masa ini lah insulasi ramah lingkungan dan solar collector diproduksi secara massal.

Tren desain hijau dan keberlanjutan di Indonesia sendiri membawa angin segar dalam teknis mau pun seni perancangan arsitektur lokal. Nilai budaya tradisional terangkat derajat nya hingga bergaung ke mancanegara. Sebut saja Kampung Improvement Programme yang memvisikan perbaikan kampung-kampung kota di Jakarta pada tahun 1969, Kali Code urban settlement oleh Y. B. Mangunwijaya di tahun 1985, dan proyek preservasi Mbaru Niang di Wae Rebo, yang diinisiasikan oleh arsitek muda Yori Antar, memenangkan Aga Khan Award for Architecture 2013. Tak hanya itu, proyek dengan skala hunian tunggal pun semakin marak bersemangat mengaplikasikan material-material lokal yang ternyata mampu meningkatkan pendapatan pengrajin setempat.

Keseriusan Indonesia untuk menjalankan sustainable design ini dikukuhkan dengan berdiri nya sebuah lembaga nirlaba bernama Green Building Council Indonesia (GBCI) di tahun 2009. GBCI sendiri merupakan anggota dari World Green Building, yang berpusat di Kanada. Beberapa gedung ternama di ibukota sudah mendapatkan sertifikasi hijau dari lembaga tersebut, sebut saja Gedung Menteri Pekerjaan Umum dan Gedung Sampoerna Strategic. Label hijau yang dikeluarkan oleh GBCI ini disambut baik oleh pelaku properti nasional, hal ini terlihat dari banyaknya gedung-gedung yang antre dalam daftar tunggu sertifikasi.

Peran serta pemerintah pun tampak semakin giat mendukung upaya ini. Meski belum ada peraturan dengan skala nasional, rupa nya penetapan regulasi hijau telah berkembang di tingkatan pemerintah daerah. Dimulai dengan DKI Jakarta yang telah memberlakukan Perda Nomor 7 tahun 2010, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan green building adalah bangunan gedung yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan sumber daya yang efisien dari sejak perencanaan, pelaksanaan konstruksi, pemanfaatan, pemeliharaan, sampai dekonstruksi. Kemudian disambung dengan Pergub 38 tahun 2012, di mana pengaturan green building dibuat lebih spesifik. Salah satu ayat nya menyebutkan bahwa “penyelenggaraan bangunan gedung meliputi bangunan gedung baru dan bangunan gedung eksisting”. Gedung eksisting yang dimaksud adalah bangunan gedung yang pada saat Pergub 38/2012 ini ditetapkan sedang dalam tahap pelaksanaan konstruksi dan atau sudah dalam tahap pemanfaatan. Beberapa hal juga dibahas sebagai tolak ukur dalam penentuan hijau tidaknya sebuah bangunan. Untuk kriteria gedung baru, efisiensi energi dan air menjadi syarat mendapatkan poin penuh. Begitu pula dengan kualitas udara dalam lingkungan, cara pengelolaan lahan dan limbah, serta pelaksanaan kegiatan konstruksi. Sedangkan bagi gedung eksiting, isu konservasi lebih dititik beratkan bagi efisiensi energi dan air. Perihal manajemen operasional dan pemeliharaan pun turut menjadi bahan pertimbangan. Hal-hal tersebut ini lah yang kemudian dibakukan menjadi syarat teknis bangunan di kawasan DKI Jakarta. Di tahun 2015, Pemerintah Kota Bandung pun mulai mencanangkan regulasi hukum bangunan yang menyaratkan sertifikasi hijau sebagai modal utama untuk maju mendapatkan IMB.

Dalam perjalanannya, label green building pada sebuah bangunan terbukti mampu meningkatkan nilai ekonomis tidak hanya dalam hal konservasi energi. Hotel, resort, atau pun kantor sewa dengan tarif melambung yang bersertifikat hijau akan dengan mudah diterima oleh pasar. Hal ini baik untuk merangsang kesadaran investasi jangka panjang dari sebuah konsep hijau. Namun di lain sisi tetap saja keberadaan pihak tak bertanggung jawab yang memanfaatkan momentum “marketing hijau” ini harus dipertanyakan. Merebak nya sertifikasi dan penghargaan dalam green and sustainable building ini sangat menggiurkan bagi pihak mana pun yang memandang hal ini sebagai alat pemasaran modern.

Terlalu mudah nya mendapatkan sertifikat green building di Amerika Serikat menimbulkan banyak protes. Dalam kurun waktu dua belas tahun semenjak tahun 2000, sudah ada lebih dari 15000 bangunan yang mendapatkan sertifikat green building berdasarkan Leadership in Energy and Environmental Design (LEED), sebuah program sertifikasi green building yang dikeluarkan oleh U.S. Green Building Council. Salah satu skandal sertifikasi green building oleh LEED yang paling banyak menuai kritik adalah The Palazzo Hotel and Casino (PHC) di Las Vegas. Kompleks bangunan mewah yang terbangun pada tahun 2008 ini terdiri dari 50 lantai, memiliki banyak feature canggih seperti indoor waterfall, smoke-filled gaming area, tujuh air mancur dekoratif, dan guest suites dengan tiga televisi dan power-controlled curtains di masing-masing kamar. Dengan tapak bangunan ultra besar untuk zaman itu, PHC malah dianobatkan sebagai bangunan ramah lingkungan di saat peresmian nya. Penunjukan ini menganugerahkan pemiliknya, Las Vegas Sands Corp, keringanan pajak senilai US$ 27.000.000 selama 10 tahun berdasarkan hukum di negara bagian Nevada. Banyak pihak yang berkecimpung dalam preservasi energi dan sustainable design menyayangkan keputusan ini, sempat dimuat di beberapa media massa Amerika seperti USA Today dan The New York Times. Meskipun terdapat pemenuhan untuk beberapa kategori hijau di bangunan tersebut, seperti ada nya rak sepeda di garasi, informasi penggantian handuk pada room cards, dan desain lansekap yang sesuai dengan peraturan hukum setempat di mana penggunaan rumput dilarang, usaha PHC dinilai terlalu kecil jika dibandingkan dengan konsumsi energi dalam operasional bangunan tersebut. Pemberian sertifikat hijau kepada PHC mendorong perlu nya revisi besar-besaran terhadap LEED agar penilaian green building tidak hanya sekedar common practice. Sontak LEED pun dicap sebagai langkah murah meriah untuk membantu pemilik properti mendapatkan keringanan pajak dan kemudahan ijin bangun. Kasus marketing hijau lainnya terkuak ketika Federal Trade Commision (FTC), sebuah lembaga independen perlindungan konsumen Amerika, mengeluarkan informasi bahwa salah satu lembaga sertifikasi green building bernama Tested Green terbukti sebagai lembaga palsu di tahun 2011.

Bisnis berbasis marketing hijau memang cukup sulit untuk dinilai secara praktis namun mudah menjadi lahan gembur, terutama bagi pasar properti yang sedang tumbuh seperti Indonesia. Peran pengawasan yang independen dan berintegritas diharapkan mampu menghilangkan kekhawatiran serupa. Semua kepentingan pada sebuah visi desain hijau pada akhir nya harus lah bermanfaat untuk kelestarian lingkungan hidup.

Cita-cita untuk mewujudkan lingkungan hidup terencana yang berkelanjutan adalah sebuah pekerjaan besar. Butuh banyak pihak dengan pengetahuan dan kesadaran untuk berkolaborasi di dalamnya. Efisiensi energi dengan bantuan insulasi ramah lingkungan harus nya sudah tak dipahami sebagai investasi jangka panjang belaka, melainkan sebuah sistem yang dipahami dapat membantu menghemat konsumsi energi terbatas. Transformasi pasar properti pun dengan marketing hijau di dalam nya harus dapat diikuti dengan perlindungan konsumen yang mumpuni sehingga keberadaan badan sertifikasi green building dapat membantu meningkatkan daya saing properti Indonesia dengan penuh integritas. Bagaimanapun optimisme menunjukkan bahwa properti Indonesia kini sedang dalam gradasi warna nya menuju hijau.

*ditulis pada tanggal 23 September 2015