Dari sekian banyak arsitek kaliber dunia, tidak sedikit yang mau merubah pakem desain yang mereka pakai. Namun terdapat pula yang memang dari awal kemunculannya sudah melakukan gebrakan di dalam teori arsitektur mereka. Sebut saja arsitek muda asal Denmark, Bjarke Ingels, pendiri BJARKE INGELS GROUP (BIG). Dan tidak dapat dilupakan pula seorang arsitek Inggris berdarah Ghana, David Adjaye.
Bjarke Ingels sebelum mendirikan BIG mengawali karirnya di Office of Metropolitan Architecture (OMA) - Rem Koolhaas, lalu mendirikan PLOT bersama Julien De Smedt yang juga berasal dari OMA. Tidak heran pendekatan desain yang digunakannya sangat kental dengan ciri khas Koolhaas; experimenting with pure space, but never losing sight of the building as a solution to a real-world problem. Karya yang mengawali kesuksesannya adalah VM Houses di Ørestad, Copenhagen, yang langsung memenangkan sebuah penghargaan arsitektur pada tahun 2005. Ingels pun menjadi populer sebagai arsitek yang dikenal mampu mempertemukan teori, pragmatisme, dan optimisme di dalam karyanya.
Pada dasarnya, arsitektur telah didominasi oleh dua aliran yang saling bertolak belakang. Di satu sisi, sesuatu yang disebut avant-garde dengan ide-ide gila di dalamnya. Aliran ini berdasarkan pada suatu filosofi, sifat kemistikan, serta daya pikat dari sebuah bentuk yang mungkin hanya bisa terealisasi oleh visualisasi komputer. Sedangkan pihak lainnya merupakan suatu perusahaan konsultan yang terorganisir rapi, yang membangun bangunan-bangunan “umum”.
Ingels mencoba melakukan dialog terhadap kedua aliran ini. Ia merubah perbedaan antara yang utopis dan pragmatis menjadi sebuah gerbang kreasi sosial, ekonomi, dan lingkungan sehingga bermanfaat secara objektif. Dengan pemikirannya yang mudah dimengerti karena berdasarkan pada kebutuhan dari penghuni dan lingkungan sekitar bangunan, hal ini diaplikasikan pada setiap proyek dengan menguji coba skala serta keseimbangan antara faktor-faktor seperti tempat tinggal, area hiburan, perkantoran, parkir, dan pusat perbelanjaan. Pada setiap lokasi pembangunan selalu dilakukakan uji coba “pragmatis utopis” untuk mendapatkan sisi terbaik yang bisa ditampilkan.
Langkah besar yang menghantarkannya menjadi seorang arsitek kaliber dunia dengan predikat perusahaan arsitektur paling sukses dan inovatif versi Danish Architecture Center (DAC) adalah ketika ia membuat sebuah pameran dengan tema Yes is More: An archicomic on Architectural evolution. Pameran yang terdiri dari kegiatan debat, seminar, serta perkuliahan ini bertujuan membebaskan arsitektur dari pakem klise namun melihat kehidupan modern sebagai suatu inspirasi yang menantang. Segala sesuatunya pun dibungkus rapi dalam plot komik khas budaya pop art. Ingels ingin menegaskan bahwa kombinasi antara kata-kata dan gambar akan lebih mudah untuk dicerna sehingga esensi dari pemikirannya tersampaikan. Dalam sekejap selogan “Yes is More” yang merupakan pelesetan dari “Less is More” milik Mies van der Rohe menjadi sebuah menifesto dalam teori arsitektur kontemporer khas Bjarke Ingels.
Berbeda dengan David Adjaye yang lebih dikenal dengan keglamoran dan romantismenya dalam mendesain. Ia menempuh pendidikan di Royal College of Art, dimana pada tahun yang sama dengan tahun kelulusannya, memenangkan RIBA First Prize Bronze. Pada tahun 1994 ia mendirikan Adjaye Architect. Dan penghargaan demi penghargaan pun ia raih, diantaranya nominasi Stirling Prize atas karyanya Whitechapel Idea Store.
Predikat glamor yang melekat pada Adjaye tidak lepas dari proyek-proyek awal yang ditanganinya, yaitu rumah-rumah eksentrik milik kaum selebritis dunia serta pengalamannya mendesainkan sebuah gaun dengan label Boudicca untuk majalah Vogue. Pada langkah berikutnya ia melakukan manuver dengan merambah pada proyek-proyek publik seperti Perpustakaan Umum yang merupakan bagian dari Old Hamlets Tower di London dengan pendekatan yang sama sekali berbeda, namun tetap tidak meninggalkan kesan glamor di dalamnya dengan cara membiaskan arti sebuah perpustakaan menjadi sebuah “toko ide”. Penambahan branding ini dilakukannya untuk membuat bangunan baru tersebut menjadi sesuatu yang menarik karena kesesuaiannnya dengan zaman namun tetap berfungsi sebagaimana mestinya ia dirancang. Kepiawaiannya dalam membaca potensi yang ada pada area konservasi inilah yang membuat ia disejajarkan dengan Lord Norman Foster dalam hal berani mengambil resiko dan menciptakan trik kolaborasi antara bangunan baru dan lama.
Bagi Adjaye, sebuah gaya hanya dapat menjadi gaya ketika ia memiliki relevansi terhadap politik dan sosial sekitar. Namun di lain sisi ia menambahkan bahwa itu saja tidak cukup untuk memenuhi substansi yang dibutuhkan oleh sebuah karya arsitektur lengkap. Pemenuhan kebutuhan teknis yang berlebihan pada suatu bangunan pun dinilainya tidak terlalu baik, karena dapat menurunkan nilai humanitas di dalam bangunan tersebut. Oleh karena itu ia memandang bahwa keberadaan suatu bangunan harus mengandung maksud, setidaknya merespon pada suatu acuan, sehingga dapat memperlihatkan adanya keterikatan misterius yang menggoda di dalamnya.
Bagi kedua arsitek ini, desain utopis bukanlah sesuatu yang dituju. Keadaan terlalu sempurna tidak dapat memberikan kenyamanan yang dibayangkan. Begitu juga dengan ketidak tanggapan pragmatis dalam menjawab permasalahan dan kebutuhan arsitektural. Segala sesuatunya tetap membutuhkan variabel romantis namun tetap masuk akal sehingga dapat dibangun.